Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI PARIAMAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2018/PN Pmn FERI MULYADI KAPOLRES PARIAMANcq. KASATRESKRIM POLRES PARIAMAN cq. PENYIDIK POLRES PARIAMAN Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 30 Apr. 2018
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penangkapan
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2018/PN Pmn
Tanggal Surat Senin, 30 Apr. 2018
Nomor Surat -
Pemohon
NoNama
1FERI MULYADI
Termohon
NoNama
1KAPOLRES PARIAMANcq. KASATRESKRIM POLRES PARIAMAN cq. PENYIDIK POLRES PARIAMAN
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

ALASAN DAN FAKTA-FAKTA DIAJUKANNYA PERMOHONAN PRAPERADILAN

  1. TINDAKAN TERMOHON DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA, MELAKUKAN PENANGKAPAN DAN PENAHANAN TELAH MENYALAHI PROSEDUR PEMERIKSAAN SEBAGAIMANA DIATUR DALAM KUHAP

Untuk membuktikan bahwa tindakan termohon dalam melakukan tindakan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon telah menyalahi prosedur dalam penanganan perkara pidana aquo, kiranya perlu disampaikan beberapa fakta sebagai berikut:

  1. Tidak pernah ada surat pemanggilan sebagai saksi ataupun sebagai tersangka terhadap Pemohon berkenaan dengan adanya Laporan Polisi Nomor : LP/58/B/III/2018/SPKT/Polres, tanggal 31 Maret 2018;
  2. Tidak pernah ada proses  Penyidikan atau Penyelidikan terhadap Pemohon, meskipun telah ada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/18/III/2018/Reskrim, tanggal 31 Maret 2018;
  3. Terdapat 2 (dua) Surat Perintah Penangkapan dengan nomor, tanggal dan tahun yang sama namun dengan susunan penyidik pembantu yang berbeda, sebagai berikut:
  1. Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sp.Kap/11/III/2018/Reskrim,  tertanggal 31 maret 2018 dengan penugasan kepada penyidik antara lain: Darmawan SH, pangkat AIPTU; Yossef WR pangkat Bripka; Rafdianto, pangkat Brigadir; Zozandra, pangkat Brigadir; dan Tri Joko Prasetyo SE, pangkat Briptu.
  2. Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/11/III/2018/Reskrim, tertanggal 31 maret 2018 dengan penugasan kepada penyidik antara lain: Syafrizal SH, pangkat IPTU; Iusticia Fitri SH, pangkat Brigadir; Tri Joko Prasetyo SE, pangkat Briptu; Rina Permata Sari, pangkat Briptu; dan Tiarani Puspa Dellasiva, pangkat Bripda.

Bahwa sampai dengan saat ini, Pemohon tidak pernah mengetahui surat penahanan yang mana yang digunakan oleh Termohon sebagai dasar untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon.

  1. Pada tanggal 31 maret 2018 telah dilakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon tanpa diawali dengan adanya pemanggilan sebagai tersangka;
  2. Pada tanggal 2 April 2018 baru dilakukan visum terhadap anak yang dianggap sebagai korban; Bahwa Pemohon tidak mengetahui kegiatan visum apakah dilakukan oleh Termohon atau Pihak Ketiga? Untuk itu, mohon kepada majelis hakim pemeriksa perkara untuk memerintahkan kepada Termohon agar menunjukkan bukti kapan visum dilaksanakan, untuk memperjelas apakah Termohon telah memperhatikan prosedur yang benar dalam menetapkan Tersangka, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon.

Berkaitan dengan fakta-fakta hukum diatas, merujuk pada Pasal 1 angka 1 dan  4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ditegaskan bahwa Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan.

Menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Dalam hal ini, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, harus didahului dengan adanya penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Dalam hal ini kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri.

Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan  penegakan hukum yang dapat merendahkan harkat martabat manusia.

Sebagai gambaran proses pemeriksaan yang sesuai dengan KUHAP, dapat dicermati ketentuan Pasal 75 yang mengatur secara runut bahwa “Berita Acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: 1. Pemeriksaan tersangka, 2. Penangkapan, 3. Penahanan, 4. Penggeledahan, 5. ...(dst). Dibuat oleh pejabat bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut dan dibuat diatas kekuatan sumpah serta ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat dalam tindaka tersebut.

Disamping itu, ketentuan Pasal 112 KUHAP menegaskan bahwa :

  1. Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut
  2. Orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya.

Pasal 113 KUHAP mengatur lebih lanjut:

“Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya”

Apabila mencermati fakta-fakta yang ada dan mengaitkan dengan prosedur hukum yang diatur dalam KUHAP, Termohon dalam melakukan penyidikan sama sekali tidak merujuk pada prosedur yang diatur dalam KUHAP, namun justru membalikkan prosedur dimaksud dengan menetapkan tersangka terlebih dahulu untuk kemudian baru dilakukan penyelidikan untuk memperoleh alat bukti yang dibutuhkan.

Dengan mendasarkan pada fakta-fakta serta pendapat ahli hukum diatas, berkaitan dengan perkara aquo, kiranya dapat disimpulkan bahwa: Penyidik tidak pernah menerbitkan surat penetapan sebagai tersangka terhadap Pemohon dan tanpa di dahului adanya tindakan penyelidikan, tiba-tiba penyidik menerbitkan surat perintah penangkapan dan penahanan yang disertai dengan tindakan penangkapan dan penahanan pada hari yang sama tanpa disertai alat bukti yang cukup. Dengan demikian setidak-tidaknya dapat dinyatakan bahwa penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan tersebut adalah tidak sah dan cacat hukum. Oleh karenanya, harus dibatalkan.               

  1. PENERBITAN SURAT PERINTAH PENANGKAPAN, PENAHANAN DAN SURAT PEMBERITAHUAN KELUARGA TENTANG PENANGKAPAN DAN PENAHANAN “CACAT HUKUM” DAN MENJADI TIDAK SAH.

Bahwa pada faktanya, Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, melakukan Penangkapan dan Penahanan di dasarkan pada beberapa surat perintah dan surat pemberitahuan kepada keluarga Pemohon, diantaranya:

  1. Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/11/III/2018/Bareskrim, tertanggal 31 maret 2018 dengan penugasan kepada penyidik antara lain: Darmawan SH, pangkat AIPTU; Yossef WR pangkat Bripka; Rafdianto, pangkat Brigadir; Zozandra, pangkat Brigadir; dan Tri Joko Prasetyo SE, pangkat Briptu.
  2. Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/11/III/2018/Bareskrim, tertanggal 31 maret 2018 dengan penugasan kepada penyidik antara lain: Syafrizal SH, pangkat IPTU; Iusticia Fitri SH, pangkat Brigadir; Tri Joko Prasetyo SE, pangkat Briptu; Rina Permata Sari, pangkat Briptu; dan Tiarani Puspa Dellasiva, pangkat Brida.
  3. Surat Perintah Penahanan Nomor SP.Han/10/IV/2018/Reskrim tertanggal 1 april 2018;
  4. Surat Pemberitahuan Keluarga tentang Penangkapan dan Penahanan, nomor B/540/IV/2018/Reskrim tertanggal 1 april 2018.

Bahwa terdapat beberapa kesalahan dalam penerbitan surat-surat dimaksud yang “bersifat fatal” sekaligus menunjukkan bahwa Termohon sebagai Penyidik tidak cermat, tidak berhati-hati serta besar kemungkinan menggunakan cara copy paste dalam menerbitkan surat-surat dimaksud, yang pada akhirnya sangat merugikan hak-hak Pemohon yang dilindungi oleh konstitusi, karena nyata-nyata Pemohon telah menggunakan surat-surat yang salah dalam melakukan tindakan penyidikan terhadap Pemohon. Adapun kesalahan-kesalahan dimaksud dapat ditemukan diantaranya pada:

  1. Terdapat 2 (dua) surat Perintah Penangkapan. Kedua surat tersebut dibubuhi nomor, tanggal dan tahun yang sama akan tetapi beda susunan penyidik. Bahwa sampai dengan diajukannya praperadilan ini ke hadapan Majelis Hakim Pemeriksa Perkara, Pemohon maupun keluarganya tidak pernah memperoleh kejelasan tentang surat perintah penangkapan yang mana yang dijadikan dasar oleh penyidik dalam melakukan penangkapan terhadap Pemohon. Oleh karena tidak ada kejelasan mengenai dasar penangkapan terhadap Pemohon, maka proses penangkapan yang dilakukan oleh Penyidik adalah tidak sah secara hukum.
  2. Bahwa pada dasarnya Pemohon telah menerima dan menandatangani salah satu surat Perintah Penangkapan yang diberikan oleh Penyidik. Akan tetapi pada surat Perintah Penangkapan tersebut pejabat yang menandatangani adalah Ilham Indarmawan dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi dalam kapasitas sebagai Kepala Kepolisian Resor Pariaman. Bahwa sepengetahuan Pemohon, Kepala Kepolisian Resor Pariaman yang saat itu aktif menjabat adalah AKBP Bagus Suropratomo Oktobrianto, S.I.K., M.Hum. Tindakan penyidik dalam menerbitkan Surat Penangkapan yang mengaku sebagai Kapolres merupakan tindakan yang menyalahi aturan kepangkatan. Oleh karena surat dimaksud ditandatangani oleh pejabat yang salah, maka pembuatannya adalah “cacat hukum
  3. Terhadap surat Pemberitahuan Surat Pemberitahuan Keluarga tentang Penangkapan dan Penahanan, tertanggal 1 april 2018, Penyidik telah keliru dalam mencantumkan rujukan diterbitkannya surat dimaksud. Adapun dalam surat tersebut disebutkan bahwa rujukan yang digunakan adalah:
  • Laporan Polisi nomor : LP/23/B/II/2018/SPKT/Polres, tertanggal 2 Februari 2018. Padahal berdasarkan surat Perintah Penangkapan maupun Penahanan disebutkan bahwa dasar dilakukannya penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan adalah Laporan Polisi Nomor : LP/58/B/III/2018/SPKT/Polres, tanggal 31 maret 2018;
  • Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/07/II/2018/Reskrim, tanggal 6 februari 2018, padahal dalam surat Perintah Penangkapan maupun Penahanan disebutkan bahwa dasar dilakukannya penyidikan adalah Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/18/III/2018/Reskrim, tanggal 31 maret 2018;
  • Surat Perintah Penahanan Nomor: Sp.Han/10/III/2018/Reskrim, tanggal 1 April 2018. Padahal berdasarkan surat Perintah Penahanan tertulis nomor: Sp.Han/10/IV/2018/Reskrim.

Berdasarkan pada fakta-fakta hukum sebagaimana uraian diatas yang menunjukkan bahwa dalam proses penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan terhadap diri Pemohon tidak didasarkan pada dokumen-dokumen/surat perintah/surat pemberitahuan yang benar secara hukum. Surat-surat dimaksud disusun secara tidak jelas, menyalahi aturan kepangkatan, tidak didasarkan pada rujukan yang tepat, tidak cermat tidak berhati-hati sehingga sangat merugikan kepentingan Pemohon dan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena proses penyusunan surat-surat menyalahi berbagai aturan, maka sudah sepatutnya bahwa seluruh dokumen-dokumen sebagaimana diuraikan diatas adalah “CACAT HUKUM” sehingga segala tindakan Termohon yang didasarkan pada dokumen-dokumen tersebut berkaitan dengan penetapan Tersangka, penangkapan dan penahanan atas diri Pemohon adalah “TIDAK SAH”.

  1. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA

Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Perkara nomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan yang pada intinya menyatakan bahwa “inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”.

MK beralasan bahwa KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Hal ini Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

Bahwa pada perkara aquo, terhadap Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan sebagai calon tersangka, namun langsung dilakukan penangkapan dan penahanan tanpa melalui proses pemeriksaan pendahuluan. Penangkapan terhadap Pemohon dilakukan pada hari yang sama setelah adanya laporan dari Pelapor. Dalam hal ini Pemohon tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan/ klarifikasi sebagai informasi pembanding yang dapat dipertimbangkan oleh Termohon sebelum dilakukannya penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon.

Oleh karenanya, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Bahwa pada perkara aquo,  Termohon tidak pernah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Pemohon dalam kapasitas sebagai calon tersangka.

Mengingat Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta asas Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon. Dengan demikian menjadi jelas bahwa tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didahului pemeriksaan terhadap Pemohon sebagai calon tersangka, merupakan tindakan yang tidak sah dan inkonstitusional.

  1. TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA

Bahwa pada faktanya, tindakan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon dilakukan bersamaan dengan diajukannya pelaporan oleh pelapor yaitu pada tanggal 31 maret 2018. Adapun laporan pelapor tercatat pada Polres Pariaman dengan Nomor : LP/58/B/III/2018/SPKT/Polres, tertanggal 31 maret 2018 sementara tindakan penangkapan dan penahanan dilakukan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/11/III/2018/Bareskrim, tertanggal 31 maret 2018.

Mencermati kedua fakta di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa Termohon menerima laporan dari masyarakat, kemudian menetapkan tersangka dan dilanjutkan dengan melakukan tindakan penangkapan dan penahanan pada hari yang sama. Maka pertanyaannya, apakah Termohon telah memiliki cukup alat bukti sebelum menetapkan Termohon sebagai Tersangka kemudian dilakukan penangkapan dan penahanan? Adapun fakta lain menunjukkan bahwa visum dilakukan pada tanggal 2 april 2018 di Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman. Untuk kepentingan tersebut, mohon kepada majelis hakim pemeriksa perkara untuk memerintahkan Termohon agar menunjukkan hasil visum yang telah dilakukan oleh Termohon.

Mengingat pelaporan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan dilakukan pada hari yang sama, kami meyakini sepenuhnya bahwa tindakan Termohon dalam menetapkan tersangka tidak didasarkan pada minimal 2 alat bukti yang sah, mengingat pula fakta bahwa visum terhadap anak yang diduga menjadi korban baru dilakukan 2 hari setelah dilakukannya penangkapan. Oleh karenanya, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang hanya didasarkan pada adanya laporan kepolisian dengan tanpa disertai alat bukti yang cukup serta tanpa melalui prosedur yang dipersyaratkan oleh hukum merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang.

Berdasarkan putusan MK, berbagai tindakan Termohon sebagaimana diuraikan diatas harus dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

  1. PENETAPAN SEBAGAI TERSANGKA, PENANGKAPAN DAN PENAHANAN  TERHADAP PEMOHON MERUPAKAN TINDAKAN SEWENANG-WENANGAN OLEH TERMOHON DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

Merujuk pada uraian angka 3 diatas, terhadap tindakan Termohon yang telah menetapkan Pemohon sebagai tersangka, kemudian melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup namun semata-mata didasarkan pada adanya laporan polisi oleh pihak lain, nyata-nyata merupakan pelanggaran terhadap hak-hak Pemohon yang dilindungi oleh Undang-undang. Tindakan Termohon merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah lebih jauh bertentangan dengan UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya semua tunduk terhadap hukum dan HAM.

Bahwa pelanggaran terhadap prosedur merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan kewenangan. Bertindak sewenang-wenang dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

  • ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
  • dibuat sesuai prosedur; dan
  • substansinya sesuai dengan objek Keputusan

 

Bahwa Pemohon menganggap tindakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka tanpa didahului pemanggilan untuk pemeriksaan sebagai calon tersangka, tanpa dilakukan penyelidikan terlebih dahulu, tanpa didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup, serta melakukan tindakan penangkapan dan penahanan hanya di dasarkan pada laporan polisi saja merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang sekaligus pelanggaran terhadap prosedur pemeriksaan perkara yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Berdasarkan uraian diatas berkaitan keabsahan dalam proses penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon, yang dilakukan dan ditetapkan dengan prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Pariaman yang memeriksa dan mengadili perkara dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka, penetapan dan penahanan terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan harus dibatalkan menurut hukum.

  1. KETERANGAN PEMOHON DALAM PERSIDANGAN

Bahwa untuk mendapatkan informasi secara lebih komprehensif dalam pemeriksaan praperadilan sebagai pertimbangan majelis dalam memeriksa dan memutus perkara, perkenankan kami menyampaikan permohonan agar kiranya dapat dihadirkan Pemohon atas nama Feri Mulyadi dan pihak-pihak terkait lainnya yang dianggap perlu guna kepentingan pemeriksaan perkara ini.

III.     PETITUM

Dengan mendasarkan pada uraian hukum dan fakta-fakta diatas, dengan ini kami mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pariaman yang memeriksa dan mengadili perkara berkenan untuk memutuskan sebagai berikut :

  1. Menyatakan menerima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon dalam penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan terhadap Pemohon dalam dugaan Tindak Pidana “Perbuatan Cabul dan Persetubuhan” dalam Pasal 81 dan Pasal 82 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak” oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Barat Resor Pariaman, Reserse Kriminal adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya segala tindakan Termohon tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  4. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  5. Memulihkan hak-hak Pemohon dalam kedudukan dan harkat serta martabatnya;
  6. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Demikian permohonan Praperadilan ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara aquo. Dengan ini kami juga mohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pariaman yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara ini dengan tetap berpegang pada prinsip kepastian hukum, keadilan, kebenaran dan kemanusiaan.

Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim pemeriksa perkara berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)

Pihak Dipublikasikan Ya