Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2018/PN Pmn | FERI MULYADI | KAPOLRES PARIAMANcq. KASATRESKRIM POLRES PARIAMAN cq. PENYIDIK POLRES PARIAMAN | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Senin, 30 Apr. 2018 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penangkapan | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2018/PN Pmn | ||||
Tanggal Surat | Senin, 30 Apr. 2018 | ||||
Nomor Surat | - | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | ALASAN DAN FAKTA-FAKTA DIAJUKANNYA PERMOHONAN PRAPERADILAN
Untuk membuktikan bahwa tindakan termohon dalam melakukan tindakan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon telah menyalahi prosedur dalam penanganan perkara pidana aquo, kiranya perlu disampaikan beberapa fakta sebagai berikut:
Bahwa sampai dengan saat ini, Pemohon tidak pernah mengetahui surat penahanan yang mana yang digunakan oleh Termohon sebagai dasar untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon.
Berkaitan dengan fakta-fakta hukum diatas, merujuk pada Pasal 1 angka 1 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ditegaskan bahwa Polisi memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan. Menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Dalam hal ini, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, harus didahului dengan adanya penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Dalam hal ini kegiatan penyelidikan dan penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri. Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang dapat merendahkan harkat martabat manusia. Sebagai gambaran proses pemeriksaan yang sesuai dengan KUHAP, dapat dicermati ketentuan Pasal 75 yang mengatur secara runut bahwa “Berita Acara dibuat untuk setiap tindakan tentang: 1. Pemeriksaan tersangka, 2. Penangkapan, 3. Penahanan, 4. Penggeledahan, 5. ...(dst). Dibuat oleh pejabat bersangkutan dalam melakukan tindakan tersebut dan dibuat diatas kekuatan sumpah serta ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat dalam tindaka tersebut. Disamping itu, ketentuan Pasal 112 KUHAP menegaskan bahwa :
Pasal 113 KUHAP mengatur lebih lanjut: “Jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya” Apabila mencermati fakta-fakta yang ada dan mengaitkan dengan prosedur hukum yang diatur dalam KUHAP, Termohon dalam melakukan penyidikan sama sekali tidak merujuk pada prosedur yang diatur dalam KUHAP, namun justru membalikkan prosedur dimaksud dengan menetapkan tersangka terlebih dahulu untuk kemudian baru dilakukan penyelidikan untuk memperoleh alat bukti yang dibutuhkan. Dengan mendasarkan pada fakta-fakta serta pendapat ahli hukum diatas, berkaitan dengan perkara aquo, kiranya dapat disimpulkan bahwa: Penyidik tidak pernah menerbitkan surat penetapan sebagai tersangka terhadap Pemohon dan tanpa di dahului adanya tindakan penyelidikan, tiba-tiba penyidik menerbitkan surat perintah penangkapan dan penahanan yang disertai dengan tindakan penangkapan dan penahanan pada hari yang sama tanpa disertai alat bukti yang cukup. Dengan demikian setidak-tidaknya dapat dinyatakan bahwa penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan tersebut adalah tidak sah dan cacat hukum. Oleh karenanya, harus dibatalkan.
Bahwa pada faktanya, Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, melakukan Penangkapan dan Penahanan di dasarkan pada beberapa surat perintah dan surat pemberitahuan kepada keluarga Pemohon, diantaranya:
Bahwa terdapat beberapa kesalahan dalam penerbitan surat-surat dimaksud yang “bersifat fatal” sekaligus menunjukkan bahwa Termohon sebagai Penyidik tidak cermat, tidak berhati-hati serta besar kemungkinan menggunakan cara copy paste dalam menerbitkan surat-surat dimaksud, yang pada akhirnya sangat merugikan hak-hak Pemohon yang dilindungi oleh konstitusi, karena nyata-nyata Pemohon telah menggunakan surat-surat yang salah dalam melakukan tindakan penyidikan terhadap Pemohon. Adapun kesalahan-kesalahan dimaksud dapat ditemukan diantaranya pada:
Berdasarkan pada fakta-fakta hukum sebagaimana uraian diatas yang menunjukkan bahwa dalam proses penetapan Tersangka, Penangkapan dan Penahanan terhadap diri Pemohon tidak didasarkan pada dokumen-dokumen/surat perintah/surat pemberitahuan yang benar secara hukum. Surat-surat dimaksud disusun secara tidak jelas, menyalahi aturan kepangkatan, tidak didasarkan pada rujukan yang tepat, tidak cermat tidak berhati-hati sehingga sangat merugikan kepentingan Pemohon dan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena proses penyusunan surat-surat menyalahi berbagai aturan, maka sudah sepatutnya bahwa seluruh dokumen-dokumen sebagaimana diuraikan diatas adalah “CACAT HUKUM” sehingga segala tindakan Termohon yang didasarkan pada dokumen-dokumen tersebut berkaitan dengan penetapan Tersangka, penangkapan dan penahanan atas diri Pemohon adalah “TIDAK SAH”.
Merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Perkara nomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan yang pada intinya menyatakan bahwa “inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. MK beralasan bahwa KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Hal ini Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti. “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),” Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Bahwa pada perkara aquo, terhadap Pemohon tidak pernah dilakukan Pemeriksaan sebagai calon tersangka, namun langsung dilakukan penangkapan dan penahanan tanpa melalui proses pemeriksaan pendahuluan. Penangkapan terhadap Pemohon dilakukan pada hari yang sama setelah adanya laporan dari Pelapor. Dalam hal ini Pemohon tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan keterangan/ klarifikasi sebagai informasi pembanding yang dapat dipertimbangkan oleh Termohon sebelum dilakukannya penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon. Oleh karenanya, merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Bahwa pada perkara aquo, Termohon tidak pernah melakukan pemeriksaan pendahuluan terhadap Pemohon dalam kapasitas sebagai calon tersangka. Mengingat Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta asas Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon. Dengan demikian menjadi jelas bahwa tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didahului pemeriksaan terhadap Pemohon sebagai calon tersangka, merupakan tindakan yang tidak sah dan inkonstitusional.
Bahwa pada faktanya, tindakan penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon dilakukan bersamaan dengan diajukannya pelaporan oleh pelapor yaitu pada tanggal 31 maret 2018. Adapun laporan pelapor tercatat pada Polres Pariaman dengan Nomor : LP/58/B/III/2018/SPKT/Polres, tertanggal 31 maret 2018 sementara tindakan penangkapan dan penahanan dilakukan oleh Termohon berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor : Sp.Kap/11/III/2018/Bareskrim, tertanggal 31 maret 2018. Mencermati kedua fakta di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa Termohon menerima laporan dari masyarakat, kemudian menetapkan tersangka dan dilanjutkan dengan melakukan tindakan penangkapan dan penahanan pada hari yang sama. Maka pertanyaannya, apakah Termohon telah memiliki cukup alat bukti sebelum menetapkan Termohon sebagai Tersangka kemudian dilakukan penangkapan dan penahanan? Adapun fakta lain menunjukkan bahwa visum dilakukan pada tanggal 2 april 2018 di Rumah Sakit Umum Daerah Pariaman. Untuk kepentingan tersebut, mohon kepada majelis hakim pemeriksa perkara untuk memerintahkan Termohon agar menunjukkan hasil visum yang telah dilakukan oleh Termohon. Mengingat pelaporan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan dilakukan pada hari yang sama, kami meyakini sepenuhnya bahwa tindakan Termohon dalam menetapkan tersangka tidak didasarkan pada minimal 2 alat bukti yang sah, mengingat pula fakta bahwa visum terhadap anak yang diduga menjadi korban baru dilakukan 2 hari setelah dilakukannya penangkapan. Oleh karenanya, penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang hanya didasarkan pada adanya laporan kepolisian dengan tanpa disertai alat bukti yang cukup serta tanpa melalui prosedur yang dipersyaratkan oleh hukum merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan putusan MK, berbagai tindakan Termohon sebagaimana diuraikan diatas harus dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.
Merujuk pada uraian angka 3 diatas, terhadap tindakan Termohon yang telah menetapkan Pemohon sebagai tersangka, kemudian melakukan penangkapan dan penahanan tanpa didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup namun semata-mata didasarkan pada adanya laporan polisi oleh pihak lain, nyata-nyata merupakan pelanggaran terhadap hak-hak Pemohon yang dilindungi oleh Undang-undang. Tindakan Termohon merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah lebih jauh bertentangan dengan UUD 1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya semua tunduk terhadap hukum dan HAM. Bahwa pelanggaran terhadap prosedur merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan kewenangan. Bertindak sewenang-wenang dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan bahwa syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :
Bahwa Pemohon menganggap tindakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai tersangka tanpa didahului pemanggilan untuk pemeriksaan sebagai calon tersangka, tanpa dilakukan penyelidikan terlebih dahulu, tanpa didasarkan pada minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup, serta melakukan tindakan penangkapan dan penahanan hanya di dasarkan pada laporan polisi saja merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang sekaligus pelanggaran terhadap prosedur pemeriksaan perkara yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan uraian diatas berkaitan keabsahan dalam proses penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan terhadap Pemohon, yang dilakukan dan ditetapkan dengan prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Pariaman yang memeriksa dan mengadili perkara dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka, penetapan dan penahanan terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan harus dibatalkan menurut hukum.
Bahwa untuk mendapatkan informasi secara lebih komprehensif dalam pemeriksaan praperadilan sebagai pertimbangan majelis dalam memeriksa dan memutus perkara, perkenankan kami menyampaikan permohonan agar kiranya dapat dihadirkan Pemohon atas nama Feri Mulyadi dan pihak-pihak terkait lainnya yang dianggap perlu guna kepentingan pemeriksaan perkara ini. III. PETITUM Dengan mendasarkan pada uraian hukum dan fakta-fakta diatas, dengan ini kami mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pariaman yang memeriksa dan mengadili perkara berkenan untuk memutuskan sebagai berikut :
Demikian permohonan Praperadilan ini kami sampaikan sebagai bahan pertimbangan majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara aquo. Dengan ini kami juga mohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pariaman yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara ini dengan tetap berpegang pada prinsip kepastian hukum, keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim pemeriksa perkara berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |